Bacaan
Ekaristi : Dan. 12:1-3; 1Tes. 4:13-18; Luk. 24:13-35
Saudara-saudara
terkasih, para kardinal dan para uskup,
Saudara-saudari
terkasih!
Hari
ini kita memperbarui tradisi yang indah, dalam rangka Pengenangan Arwah Semua
Orang Beriman, merayakan Ekaristi guna mengenang para kardinal dan para uskup
yang telah meninggalkan kita setahun terakhir, dan kita mempersembahkannya
dengan penuh kasih sayang bagi jiwa terpilih Paus Fransiskus, yang wafat
setelah membuka Pintu Suci dan menyampaikan berkat Paskah kepada Roma dan
dunia. Berkat Yubileum ini, perayaan ini – yang pertama bagi saya – memperoleh
cita rasa khas – cita rasa pengharapan kristiani.
Sabda
Allah yang baru saja kita dengar mencerahkan kita. Pertama dan terutama, dengan
sebuah ikon biblis agung yang, dapat dikatakan, merangkum makna Tahun Suci ini:
kisah Lukas tentang murid-murid Emaus (Luk 24:13-35). Di dalamnya, kita
menemukan representasi yang gamblang tentang ziarah pengharapan, yang melalui
perjumpaan dengan Kristus yang bangkit. Titik awalnya adalah pengalaman
kematian, dan dalam bentuknya yang terburuk: kematian yang kejam yang membunuh
orang-orang tak berdosa dan dengan demikian membuat kita putus asa, patah
semangat, dan diliputi kesedihan. Betapa banyak orang – betapa banyak
“anak-anak kecil”! – bahkan di zaman kita menderita trauma kematian yang
mengerikan ini, yang dirusak oleh dosa. Kepada kematian ini, kita tidak dapat
dan tidak boleh mengatakan “laudato si’”, “terpujilah Engkau”, karena Allah
Bapa tidak menginginkannya, dan Ia mengutus Putra-Nya ke dunia untuk
membebaskan kita darinya. Tertulis: Kristus harus menanggung penderitaan ini
agar dapat masuk ke dalam kemuliaan-Nya (bdk. Luk. 24:26) dan memberikan kita
hidup yang kekal. Hanya Dia yang dapat menanggung kematian yang merusak ini
atas diri-Nya dan di dalam diri-Nya sendiri tanpa dirusak olehnya. Hanya Dia
yang memiliki perkataan hidup yang kekal (bdk. Yoh. 6:68) – kita mengakui hal
ini dengan gentar di sini, di dekat makam Santo Petrus – dan perkataan ini
memiliki kuasa untuk mengobarkan kembali iman dan harapan di dalam hati kita
(bdk. Luk. 24:32).
Ketika
Yesus mengambil roti dalam tangan-Nya, yang telah dipaku di kayu salib,
menyampaikan berkat, memecah-mecah roti dan mempersembahkannya, mata kedua
murid terbuka, iman bersemi dalam hati mereka, dan dengan iman, muncullah
pengharapan baru. Ya! Bukan lagi pengharapan yang mereka miliki sebelumnya, dan
yang telah hilang. Sebuah kenyataan baru, sebuah anugerah, rahmat dari Yesus
yang bangkit: pengharapan Paskah.
Sebagaimana
kehidupan Yesus yang bangkit bukan lagi seperti sebelumnya, melainkan
sepenuhnya baru, diciptakan oleh Bapa dengan kuasa Roh Kudus, demikian pula
pengharapan kristiani bukan pengharapan manusiawi, bukan pengharapan orang
Yunani maupun orang Yahudi, bukan pula pengharapan yang didasarkan pada
kebijaksanaan para filsuf atau keadilan yang berasal dari hukum Taurat,
melainkan semata-mata dan sepenuhnya pada kenyataan bahwa Yesus yang disalibkan
telah bangkit dan menampakkan diri kepada Simon (bdk. Luk 24:34), para
perempuan, dan murid-murid lainnya. Pengharapan itu tidak tertuju pada
cakrawala duniawi, tetapi lebih jauh lagi, kepada Allah, kepada tempat yang
tinggi yang darinya matahari terbit untuk menerangi mereka yang tinggal di
kedalaman kegelapan dan bayang-bayang kematian (bdk. Luk 1:78-79).
Maka,
ya, kita dapat bernyanyi: “Terpujilah Engkau, Tuhanku, melalui Kematian Tubuh
Saudari kami”.[1]
Kasih Kristus yang disalibkan dan bangkit telah mengubah kematian kita: Ia
telah mengubah rupanya dari musuh menjadi saudari, Ia telah menjinakkannya. Dan
menghadapinya, kita “jangan berdukacita seperti orang-orang lain yang tidak
mempunyai pengharapan” (1Tes 4:13). Tentu saja, kita berdukacita ketika orang
yang kita kasihi meninggalkan kita. Kita bersedih ketika seorang manusia,
terutama seorang anak, “yang kecil”, seorang yang rapuh, direnggut oleh
penyakit atau, lebih buruk lagi, oleh kekerasan manusia. Sebagai orang
kristiani, kita dipanggil untuk menanggung beban salib ini bersama Kristus.
Tetapi kita tidak sesedih mereka yang tidak mempunyai pengharapan, karena
bahkan kematian yang paling tragis pun tidak dapat menghalangi Tuhan kita untuk
menyambut jiwa kita dalam pelukan-Nya dan mengubah tubuh kita yang hina, bahkan
yang paling rusak, sehingga serupa dengan tubuh-Nya yang mulia (lih. Flp 3:21).
Karena
alasan ini, umat kristiani tidak menyebut tempat pemakaman sebagai
"nekropolis" atau "kota orang mati", melainkan
"kuburan", yang secara harfiah berarti "asrama", tempat
seseorang beristirahat menantikan kebangkitan. Sebagaimana dinubuatkan
pemazmur, "Dengan tenteram aku mau membaringkan diri, lalu segera tidur,
sebab hanya Engkaulah, ya Tuhan, yang membuat aku hidup aman" (Mzm. 4:9).
Sahabat
terkasih, Paus Fransiskus terkasih, dan para kardinal serta para uskup yang
bagi mereka kita persembahkan kurban Ekaristi yang telah mereka hayati,
memberikan kesaksian dan mengajarkan pengharapan Paskah yang baru ini. Tuhan
memanggil mereka dan menjadikan mereka gembala dalam Gereja-Nya, dan dengan
pelayanan mereka – menggunakan bahasa Kitab Daniel – mereka "telah
menuntun banyak orang kepada kebenaran" (bdk. Dan. 12:3), yaitu, mereka
menuntun banyak orang itu di jalan Injil dengan hikmat yang berasal dari
Kristus, yang telah menjadi hikmat bagi kita, yang membenarkan, menguduskan,
dan menebus kita (bdk. 1Kor. 1:30). Semoga jiwa mereka dibasuh dari segala noda
dan semoga mereka bercahaya seperti bintang di langit (bdk. Dan. 12:3). Semoga
dorongan rohani mereka sampai kepada kita, para peziarah di bumi, dalam
keheningan doa: "Berharaplah kepada Allah! Sebab aku akan bersyukur lagi
kepada-Nya, penolongku dan Allahku!" (Mzm. 42:6,12).
_______
(Peter Suriadi - Bogor, 4 November 2025)


Print this page
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.